Rabu, 22 April 2009

JELANG PANASONIC AWARD


MENGIDAMKAN KOMPETISI YANG SEHAT

Oleh : Didik Suryantoro


Di saat krisis Global seperti sekarang, Panasonic Award tetap akan digelar akhir Maret nanti. Keberanian ini tentu harus diapresiasi, khususnya oleh insan seni yang bergelut dengan dunia televisi. Bagaimana tidak, rasanya hanya Panasonic Award yang berani memberikan penghargaan tersebut hingga memasuki tahun ke 12. Bahkan di saat krisis global sudah berada di depan mata.

Panasonic Award tentu sudah memiliki catatan panjang soal pemberian penghargaan pada insan televisi. 12 tahun adalah waktu yang tidak sebentar, dan tidak banyak sebuah ajang penghargaan bagi insan seni yang bisa bertahan selama itu di Indonesia. Maka tak heran di hampir tiap penyelenggaraan penghargaan berikutnya, Panasonic Award relative terus membenahi diri dengan merevisi berbagai hal. Salah satunya tentu urusan kategori yang terus berkembang dan membengkak.

Meski pagelaran akbarnya sendiri baru akan dilangsungkan akhir Maret nanti, namun sejak diumumkannya nominasi awal Februari lalu, berbagai komentar mengenai pergelaran Panasonic Award terus bermunculan. Mulai dari perbincangan di warung kopi hingga bertebaran di berbagai milis.

Memang, banyak hal yang bisa dibincangkan kalau sudah bicara ranah creative dan selera personal. Apalagi soal televisi yang jauh lebih banyak pemirsanya dibandingkan dengan karya creative lainnya. Hingga tak heran jika semua merasa tahu, merasa peduli, merasa kecewa, merasa keinginannya tidak tersampaikan hingga merasa perlu menyampaikan segala ketidaksetujuan. Apapun itu, ini seolah menegaskan jika Panasonic Award sesungguhnya sudah menjadi bagian dari pecinta televisi Indonesia.

Oke.. dari sekian banyak persoalan yang dipersoalkan dan muncul ke permukaan, mungkin ada beberapa point yang bisa lebih focus diangkat kepermukaan lebih tinggi. Misalnya saja soal penentuan kategori yang menggunakan rating yang diusung AGB Nielsen Media Research. Sementara kita tahu, ratting keluaran AGB Nielsen masih menjadi perdebatan panjang di kalangan televisi sendiri. Orang orang creative televisi sangat enggan menggunakan ratting sebagai barometer keberhasilan sebuah program. Mereka seperti enggan mengakui sebuah program disaksikan sekian banyak pemirsa hasil keluaran AGB Nielsen. Namun yang menjadi petaka, mereka sendiri sulit membuktikan ketidaksetujuannya itu. Kalaupun ada lawan AGB Nielsen dalam urusan survey, paling mungkin hanya lembaga independent yang salah satunya diikuti oleh Kelompok SET. Namun itupun masih kurang mencerminkan keseluruhan program televisi. Meski paling tidak, ada komparasi survey yang bias membedah wacana masyarakat.

Jika saja apa yang diragukan pekerja creative televisi itu benar, nominasi di tiap kategori yang disodorkan Panasonic Award, boleh jadi masih bisa dipertanyakan kembali. Salah satu pertanyaannya tentu apa iya nominasi tersebut diminati masyarakat sehingga lolos sebagai nominasi. Pendek kata, untuk urusan nominasi yang acuannya ratting masih cukup kuat untuk diragukan.

Dalam urusan nominasi dan kategori, bisa lain lagi ceritanya. Banyak nominasi yang tumpang tindih, khususnya bila dilihat dari kategori yang bermuara pada program program news. Kesulitan dalam mengkelompokkan nominasi, mengakibatkan jumlah kategori jadi menggelembung. Ini tentunya memiliki konsekuensi budget. Coba saja simak, pada mayoritas kategori yang ada, nominasinya hanya berjumlah 5 nominator. Sementara untuk ketegori yang bermuara pada program news, angka nominasi bias berkembang mencapai sembilan nominator. Pikiran pendeknya sederhana saja, tidak enak tidak mengajak program bagus kalau tidak dijadikan nominasi. Meski ujung ujungnya program tersebut sulit memenangkan penghargaan juga.

Di luar itu, tentu masih banyak persoalan yang mengundang perdebatan panjang. Sebut misalnya hadirnya Bukan Empat Mata dan Empat Mata yang sama sama masuk nominasi di kategori Entertainment Talkshow. Bukankah sesungguhnya program tersebut memiliki esensi content yang sama. Hanya judul yang membuatnya berbeda. Namun di sini sangat terlihat ketidakberdayaan juri untuk memutuskan pilihan karena terikat aturan yang sudah dibuat sebelumnya.

Menelisik lebih dalam Panasonic Award, sesungguhnya pagelaran ini sangat baik dan seharusnya mampu menciptakan program program televisi jauh lebih berkualitas. Ada beberapa catatan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.

Pertama, tentu saja penyelenggara yang independent. Tanpa ada independensi penyelenggaraan sebuah kompetisi, mustahil rasanya bisa mendapatkan pemenang yang berkualitas. Nuansa bagi bagi hadiah jelas terlihat jika para juri justru didatangkan dari mereka yang memproduksi program program yang dikompetisikan. Untuk urusan ini, mungkin kita bisa bercermin pada penyelenggaraan Video Musik Indonesia. Ajang lomba kreativitas video klip musik era 90an ini diselenggarakan oleh mereka yang tidak memproduksi video klip musik. Sehingga dalam tiap kali pelaksanaan penjurian, mulai dari pemenang bulanan hingga grand final, benar benar jujur, obyektif, fair dan tidak ada intervensi pihak manapun.

Kedua, sebuah kompetisi semestinya mampu melahirkan produk produk yang mampu menjadikan produk tersebut jauh lebih baik di kemudian hari. Ini artinya, jika kemudian kategori dan nominasi digelembungkan namun kualitasnya tidak ada peningkatan, sejujurnya kompetisi tersebut bisa dikatakan gagal. Akhirnya, yang didapatkan hanya sebuah pesta tanpa mengguratkan sejarah berarti dan berkesan. Sebab, semakin sedikit penghargaan yang diberikan, maka semakin ber’gengsi’lah penghargaan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika sebuah penghargaan dihambur hamburkan begitu banyak, maka bobot prestisiusnyapun sudah tidak ada lagi.

Ketiga, sebuah penyelenggaraan kompetisi terkadang menjadi sangat tidak obyektif ketika penilaian dilakukan melalui polling. Kita tahu, jika sudah bicara selera, parameternya menjadi sangat pribadi dan tidak lagi bisa diukur dengan ukuran yang standart. Ragamnya bisa banyak. Maka, memang jika polling menjadi pilihan dan acuan, tidak perlu lagi bicara kualitas. Namun yang menjadi persoalan adalah, sangat disayangkan jika kemudian Panasonic Award yang sudah menumpahkan biaya yang begitu besar, namun tidak mampu memberi efek positif terhadap kualitas tayangan televisi di Indonesia. Maka sebaiknya, jikapun ingin menggunakan polling sebagai wacana hura hura dan bagi bagi hadiah, ada baiknya Panasonic Award tetap menyisipkan tiga sampai lima kategori yang benar benar dinilai berdasarkan kualitas oleh juri independent yang tidak bisa diintervensi. ***

Label: , , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda