Malam ini saya dibikin kaget… seorang kerabat dari kediri tiba tiba memberi informasi kalau zona80 dibajak, karena katanya sudah keluar vcd zona80.. akhirnya saya minta dikirimkan vcd itu… tapi sebelum dikirim benar, dia mengirim email cover vcd-nya dulu.Setelah saya dapatkan cover vcd itu, ternyata di sana tertuliskan zona musik 80.
Zona80 memang sedang digemari di mana mana.Secara hukum menurut saya ini tentu tidak salah dan tidak bisa dipersalahkan.Mereka hanya memanfaatkan momentum di saatZona80 memang sedang digemari di mana mana.
Tapi yang tiba tiba menggelitik saya adalah, apakah penyanyi atau pencipta lagu atau musisi yang terlibat di lagu lagu di cvd itu dapet royalty gak ya..?Saya tidak bisa menjawabnya saat ini… tapi satu hal yang dapat saya pahami adalah, zona80 ternyata mampu memberikan berkah pada banyak orang… dan semoga saja pada tiap ‘anak anak creative’ yang terlahir bisa begitu adanya.. amiiinnn…
Sejak pertama kali ditayangkan Metro TV pada awal Maret 2008, Zona80 hingga saat ini masih terhitung eksis.Kalau mau dihitung hitung, setidaknya Zona80 sudah menjumpai penggemarnya sebanyak 48 episode.Sebuah catatan tersendiri bagi perjalanan sebuah program ’jadul’ (jaman dulu) yang sangat segmented.Perlu diketahui, Zona80 sudah kadung membawa era 80 di nama program, sehingga sangat sulit menghadirkan tema tema yang ke luar dari era 80.Ini sebuah kekuatan sekaligus kelemahan.”Kekuatannya terletak pada era yang sangat specifik sehingga bisa menjadi frame work ketika diskusi creative dilakukan.Tetapi kelemahannya adalah, kita tidak bisa menyimpang dari era 80-an, meleset sedikit aja, yang protes banyak,” ungkap Didik Suryantoro, penggagas zona80.
Dalam perjalanannya, Zona80 mau tidak mau harus mengembangkan diri.Konsekuensi logis sebuah program yang ingin terus diminati. Hanya saja ketika dinamisasi program ingin dilakukan, kerap terbentur dengan artis artis jadul yang tidak diketahui jati dirinya.Jika sebatas data, mungkin bisa didapatkan dengan mudah.Namun ketika harus dihubungi, kesulitannya adalah tidak tahu ke mana harus menghubungi.Kalaupun bisa dihubungi, biasanya mereka sudah memagari diri untuk tidak ingin tampil lagi di panggung hiburan. ”Ini kendala yang cukup mengganggu.Di satu sisi kami ingin mewujudkan keinginan pemirsa, namun di sisi berbeda sang artisnya malah sudah tidak ingin tampil lagi,” ujar Agus Mulayadi Manager Departement Produksi Metro TV.
Kendala kendala itu memang diakui menjadi tantangan tersendiri bagi penggagas creative Zona80.Maka segala carapun akan diupayakan untuk sedikitnya menjelaskan pada pemirsa Zona80 seputar artis artis 80an yang sudah tidak mungkin lagi tampil di Zona80.Untuk mengakomodir kerinduan pemirsa Zona80 terhadap artis artis 80an yang tidak mungkin tampil di Zona80, dalam waktu dekat akan dibuatkan segment ’Kabar Mereka’.”Kabar Mereka akan berisi artis artis 80an yang tidak bisa tampil lagi di Zona80.Kami akan beri kabar mereka mengapa tidak ingin atau tidak mau tampil lagi di dunia hiburan,” papar Didik.
SEGMENT YANG LUAS
Saat Zona80 hadir di Metro TV, banyak kalangan yang mengklaim diri sebagai angkatan 80.Sementara jika mau dibedah lebih rinci lagi, ada banyak generasi yang ada di era 80.Sebagai sebuah misal, pada saat breakdance merajalela di era 80, kita sedang berusia berapa.Apakah SD, SMP, SMA atau malah sudah duduk di bangku kuliah.Begitupun misalnya ketika film Catatan si Boy, Ranjau Ranjau Cinta-nya Rano Karno atau boomingnya lagu lagu melankolis yang dibawakan Christien Panjaitan, Iis Sugianto, Dian Pisesa, kita sedang berusia berapa?Kelihatannya sepele, namun hal hal seperti itu ternyata sangat mempengaruhi penampilan creative Zona80.Yang jelas, sulit bagi Zona80 mampu mengakomodir semua keinginan pemirsa jika hanya melihat dari satu episode saja, meski semua mengaku angkatan 80.”Oleh karena itu, kami mensiasatinya dengan kemasan yang berbeda dari satu episode ke episode yang lain.Tujuannya ya agar bisa melayani mereka yang mengaku angkatan 80 namun sesungguhnya mereka beda generasi,” ungkap Didik lagi.
Beberapa dinamisasi creative yang sudah dilakukan Zona80 hingga saat ini sebenernya sudah mulai terlihat.Coba saja tengok pada pembawa acaranya.Jika di awal pemunculannya Zona80 hadir dibawakan dua generasi yang berbeda, kini sudah tampil dari satu generasi yang sama.Awal sekali Zona80 muncul dengan Windy Wulandari dan Krisna Purwana, kemudian Windy Wulandari dan Joe P. Project, kemudian Joe P. Project dengan Ida Arimurti dan yang sekarang berjalan adalah Ida Arimurti dan Sys NS.”Kombinasi pembawa acara yang terakhir inilah yang akhirnya dianggap paling pas dan bisa mencerminkan program Zona80,” tutur Agus Mulyadi.
Selain perubahan pada pembawa acara, set design-pun telah mengalami perubahan.Kalau masih ingat, dulu Zona80 tampil dengan set design zero level.Artinya, antara penampil dan audience sejajar dengan posisi kamera.Sedangkan untuk sekarang, posisi artis penampil diletakkan lebih tinggi dari audience.”Sesungguhnya hal ini lebih ingin mengakomodir persoalan teknis, karena begitu semua audience berdiri untuk berjoget misalnya, artisnya justru ketutupan audience dan kamera sulit untuk menangkap keberadaan artis,” tambah Agus lagi.
PERUBAHAN FORMAT
Dalam waktu dekat, Zona80 kembali akan melakukan sedikit perubahan format tayangannya.Meski diakui tidak terlalu besar besaran, namunmudah mudahan sedikit perubahan ini bisa membuat suasana lebih segar dari sebelumnya.”Kemungkinan pertama pada set artistik dan kemasan magazine.Perubahan ini akan terasa jika disaksikan dalam rentang waktu satu bulan secara berturut turut,” ungkap Didik yang mengaku terus mengulik agar Zona80 bisa diterima semua kalangan.
Perubahan creative lain juga akan terasa saat Zona80 merayakan ulang tahunnya yang pertama.Di sana dijanjikan akan menampilkan artis artis 80an dengan penampilan yang berbeda.Kolaborasi artis 80 dengan membawakan lagu lagu 80 namun tidak membawakan lagunya sendiri.”Ya.. ini terobosan creative yang coba kita lakukan untuk menjajal sejauh mana pemirsa bisa menerima tingkat kenakalan creative Zona80,” ujar Agus Mulyadi.
Apapun perubahan yang dilakukan tim creative Zona80, sesungguhnya tidak lain untuk mengakomodir keinginan pemirsa yang cukup beragam karena hadir dari generasi yang berbeda.Pendek kata, Zona80 memang masih ada untuk kembali membawa kenangan dan cerita 80an ke masa kini.Sebuah reinkarnasi creative yang lahir dari sebuah keinginan mengenang masa lalu.(***)
Di saat krisis Global seperti sekarang, Panasonic Award tetap akan digelar akhir Maret nanti.Keberanian ini tentu harus diapresiasi, khususnya oleh insan seni yang bergelut dengan dunia televisi. Bagaimana tidak, rasanya hanya Panasonic Award yang berani memberikan penghargaan tersebut hingga memasuki tahun ke 12.Bahkan di saat krisis global sudah berada di depan mata.
Panasonic Award tentu sudah memiliki catatan panjang soal pemberian penghargaan pada insan televisi.12 tahun adalah waktu yang tidak sebentar, dan tidak banyak sebuah ajang penghargaan bagi insan seni yang bisa bertahan selama itu di Indonesia.Maka tak heran di hampir tiap penyelenggaraan penghargaan berikutnya, Panasonic Award relative terus membenahi diri dengan merevisi berbagai hal.Salah satunya tentu urusan kategori yang terus berkembang dan membengkak.
Meski pagelaran akbarnya sendiri baru akan dilangsungkan akhir Maret nanti, namun sejak diumumkannya nominasi awal Februari lalu, berbagai komentar mengenai pergelaran Panasonic Award terus bermunculan.Mulai dari perbincangan di warung kopi hingga bertebaran di berbagai milis.
Memang, banyak hal yang bisa dibincangkan kalau sudah bicara ranah creative dan selera personal.Apalagi soal televisi yang jauh lebih banyak pemirsanya dibandingkan dengan karya creative lainnya.Hingga tak heran jika semua merasa tahu, merasa peduli, merasa kecewa, merasa keinginannya tidak tersampaikan hingga merasa perlu menyampaikan segala ketidaksetujuan. Apapun itu, ini seolah menegaskan jika Panasonic Award sesungguhnya sudah menjadi bagian dari pecinta televisi Indonesia.
Oke.. dari sekian banyak persoalan yang dipersoalkan dan muncul ke permukaan, mungkin ada beberapa point yang bisa lebih focus diangkat kepermukaan lebih tinggi.Misalnya saja soal penentuan kategori yang menggunakan rating yang diusung AGB Nielsen Media Research. Sementara kita tahu, ratting keluaran AGB Nielsen masih menjadi perdebatan panjang di kalangan televisi sendiri.Orang orang creative televisi sangat enggan menggunakan ratting sebagai barometer keberhasilan sebuah program.Mereka seperti enggan mengakui sebuah program disaksikan sekian banyak pemirsa hasil keluaran AGB Nielsen.Namun yang menjadi petaka, mereka sendiri sulit membuktikan ketidaksetujuannya itu.Kalaupun ada lawan AGB Nielsen dalam urusan survey, paling mungkin hanya lembaga independent yang salah satunya diikuti oleh Kelompok SET.Namun itupun masih kurang mencerminkan keseluruhan program televisi.Meski paling tidak, ada komparasi survey yang bias membedah wacana masyarakat.
Jika saja apa yang diragukan pekerja creative televisi itu benar, nominasi di tiap kategori yang disodorkan Panasonic Award, boleh jadi masih bisa dipertanyakan kembali.Salah satu pertanyaannya tentu apa iya nominasi tersebut diminati masyarakat sehingga lolos sebagai nominasi.Pendek kata, untuk urusan nominasi yang acuannya ratting masih cukup kuat untuk diragukan.
Dalam urusan nominasi dan kategori, bisa lain lagi ceritanya.Banyak nominasi yang tumpang tindih, khususnya bila dilihat dari kategori yang bermuara pada program program news.Kesulitan dalam mengkelompokkan nominasi, mengakibatkan jumlah kategori jadi menggelembung.Ini tentunya memiliki konsekuensi budget. Coba saja simak, pada mayoritas kategori yang ada, nominasinya hanya berjumlah 5 nominator.Sementara untuk ketegori yang bermuara pada program news, angka nominasi bias berkembang mencapai sembilan nominator.Pikiran pendeknya sederhana saja, tidak enak tidak mengajak program bagus kalau tidak dijadikan nominasi.Meski ujung ujungnya program tersebut sulit memenangkan penghargaan juga.
Di luar itu, tentu masih banyak persoalan yang mengundang perdebatan panjang.Sebut misalnya hadirnya Bukan Empat Mata dan Empat Mata yang sama sama masuk nominasi di kategori Entertainment Talkshow.Bukankah sesungguhnya program tersebut memiliki esensi content yang sama.Hanya judul yang membuatnya berbeda.Namun di sini sangat terlihat ketidakberdayaan juri untuk memutuskan pilihan karena terikat aturan yang sudah dibuat sebelumnya.
Menelisik lebih dalam Panasonic Award, sesungguhnya pagelaran ini sangat baik dan seharusnya mampu menciptakan program program televisi jauh lebih berkualitas.Ada beberapa catatan yang mungkin bisa menjadi bahan pertimbangan.
Pertama, tentu saja penyelenggara yang independent.Tanpa ada independensi penyelenggaraan sebuah kompetisi, mustahil rasanya bisa mendapatkan pemenang yang berkualitas.Nuansa bagi bagi hadiah jelas terlihat jika para juri justru didatangkan dari mereka yang memproduksi program program yang dikompetisikan.Untuk urusan ini, mungkin kita bisa bercermin pada penyelenggaraan Video Musik Indonesia. Ajang lomba kreativitas video klip musik era 90an ini diselenggarakan oleh mereka yang tidak memproduksi video klip musik.Sehingga dalam tiap kali pelaksanaan penjurian, mulai dari pemenang bulanan hingga grand final, benar benar jujur, obyektif, fair dan tidak ada intervensi pihak manapun.
Kedua,sebuah kompetisi semestinya mampu melahirkan produk produk yang mampu menjadikan produk tersebut jauh lebih baik di kemudian hari.Ini artinya, jika kemudian kategori dan nominasi digelembungkan namun kualitasnya tidak ada peningkatan, sejujurnya kompetisi tersebut bisa dikatakan gagal.Akhirnya, yang didapatkan hanya sebuah pesta tanpa mengguratkan sejarah berarti dan berkesan.Sebab, semakin sedikit penghargaan yang diberikan, maka semakin ber’gengsi’lah penghargaan tersebut.Begitupun sebaliknya, jika sebuah penghargaan dihambur hamburkan begitu banyak, maka bobot prestisiusnyapun sudah tidak ada lagi.
Ketiga, sebuah penyelenggaraan kompetisi terkadang menjadi sangat tidak obyektif ketika penilaian dilakukan melalui polling. Kita tahu, jika sudah bicara selera, parameternya menjadi sangat pribadi dan tidak lagi bisa diukur dengan ukuran yang standart. Ragamnya bisa banyak. Maka, memang jika polling menjadi pilihan dan acuan, tidak perlu lagi bicara kualitas.Namun yang menjadi persoalan adalah, sangat disayangkan jika kemudian Panasonic Award yang sudah menumpahkan biaya yang begitu besar, namun tidak mampu memberi efek positif terhadap kualitas tayangan televisi di Indonesia.Maka sebaiknya, jikapun ingin menggunakan polling sebagai wacana hura hura dan bagi bagi hadiah, ada baiknya Panasonic Award tetap menyisipkan tiga sampai lima kategori yang benar benar dinilai berdasarkan kualitas oleh juri independent yang tidak bisa diintervensi. ***